LATAR BELAKANG PENULISAN
Kaliwiro adalah salah satu kecamatan di bagian selatan dari kabupaten
Wonosobo. Kaliwiro memiliki luas 100,08 km2. Di mana secara geografis
Kaliwiro terletak ditengah sebuah lembah pada ketinggian 250 meter –
300 meter dpl. Diapit gunung Lawang di selatan dan bukit Dempes di
sebelah utara. Dengan titik koordinat S7°27.510′ lintang selatan dan
E109°51.380′ bujur timur.
Latar belakang dari penulisan “Menelusuri Jejak Sejarah Kaliwiro”
adalah penulis mencoba untuk mengungkap tabir gelap yang menyelimuti
cikal bakal dan sejarah tentang Kaliwiro. Di mana selama ini, dikalangan
masyarakat Kaliwiro pada khususnya, belum pernah terungkap atau
mengetahui secara pasti siapa pendiri maupun jejak sejarah Kaliwiro di
masa lampau.
Adapun tujuan penulisan ini dimaksudkan agar generasi yang akan
datang tidak kehilangan jejak mengenai sejarah Kaliwiro. Karena Kaliwiro
memiliki sejarah panjang yang secara langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan sejarah perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah
Belanda..
Disamping itu, penulisan ini dimaksudkan agar jejak sejarah mengenai
Kaliwiro tidak berlandaskan pada mitos dan legenda seperti yang selama
ini diyakini sebagian besar masyarakat Kaliwiro. Karena mitos maupun
legenda tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan kebenarannya tidak bisa
dipertanggung jawabkan.
Penulisan ini mencoba mencari fakta dengan merunut jejak sejarah,
manuskrip maupun arsip-arsip kuno yang bersinggungan dengan keberadaan
Kaliwiro..
MITOS DAN LEGENDA TENTANG KALIWIRO
Bahwasanya seperti yang sudah diketahui secara umum. Kebanyakan
masyarakat Kaliwiro meyakini bahwa nama Kaliwiro berasal dari dua suku
kata “Kali dan Wiro” yang merupakan nama dua sesepuh atau tokoh yang
pertama kali mendiami suatu lembah yang sekarang bernama kecamatan
Kaliwiro. Yaitu “Kyai Kali dan Nyai Wiro.”
Tapi keyakinan tersebut tidak memiliki fakta dan argumen yang kuat.
Karena keyakinan tersebut hanya berdasar pada dongeng dari mulut ke
mulut tanpa disertai penjelasan mengenai latar belakang dan asal muasal
kedua tokoh yang dimaksud. Satu-satunya keyakinan yang dipercayai
masyarakat Kaliwiro mengenai kedua tokoh cikal bakal Kaliwiro, adalah
keberadaan dua nisan tanpa nama yang berada di TPU Manisjangan. Hanya
bukti dua nisan tanpa nama tentu tidak bisa menjelaskan secara pasti
mengenai sejarah awal Kaliwiro.
Jika kita mengamati dan mempelajari sastra Jawa maupun Arab, maka
kita tidak akan menemukan kelaziman nama-nama orang maupun tokoh zaman
dahulu yang menggunakan nama “kali” untuk nama seorang laki-laki. Dan
juga tidak pernah dijumpai nama “wiro” dipakai untuk nama seorang
wanita.
Biasanya nama seorang tokoh masyarakat zaman dahulu bila laki-laki
maka akan lazim disebut “Kyai Ageng” dan “Nyai Ageng” untuk seorang
wanita. Jadi keyakinan mengenai kedua tokoh tersebut perlu direvisi
kebenarannya. Agar tidak terjadi kerancuan sejarah pada generasi
mendatang. Namun bila pembaca mempunyai bukti ataupun manuskrip yang
mendukung tentang keberadaan kedua tokoh tersebut ( Kyai Kali & Nyai
Wiro ). Silahkan saudara membuat penulisan sejarah mengenai biografi
kedua tokoh tersebut. Agar penulisan sejarah Kaliwiro mempunyai kajian
yuridis kebenarannya. Karena semua ini bertujuan meluruskan dan
membekali generasi yang akan datang dengan materi sejarah yang bisa
dilacak kebenarannya. Karena semakin jauh generasi yang lahir maka akan
semakin gelap pula sejarah, bila tidak segera diotentifikasi. Namun
keberadaan mitos maupun legenda tentu akan semakin memperkaya nilai
histories suatu daerah bila berjalan beriringan dengan fakta sejarah. Contoh : legenda Nyai Roro Kidul selalu beriringan dengan fakta sejarah berdirinya kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati.
Biarlah mitos menjadi khasanah budaya yang memperkaya budaya suatu
daerah asalkan tidak melupakan fakta sejarah mengenai cikal bakal sebuah
tempat bersejarah.
KETERKAITAN KADIPATEN SELOMANIK DENGAN KALIWIRO
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya zaman dahulu pernah ada sebuah
kadipaten di suatu wilayah ( sekarang Selomanik ) yang merupakan bagian
dari pemerintahan kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono V. Kadipaten Selomanik tidak bisa dilepaskan dari sejarah
perang Jawa atau yang lebih dikenal sebagai perang Diponegoro. Karena
wilayah Selomanik adalah salah satu basis perlawanan Pangeran Diponegoro
terhadap penjajahan Belanda melalui perang gerilya. Mengingat tekstur
geografis/topografis Selomanik dan sekitarnya yang merupakan kawasan
hutan lebat berbukit-bukit, maka sangat cocok untuk tempat persembunyian
menghindari kejaran tentara Belanda. Untuk lebih jelas, maka di bawah
ini akan kita bahas sejarah yang melatar belakangi berdirinya kadipaten
Selomanik dan Kaliwiro.
A. SEJARAH KADIPATEN SELOMANIK
Selomanik berasal dari dua suku kata, ‘Selo & Manik’. Selo
berati batu dan Manik berarti permata. Dinamakan demikian karena di
wilayah Selomanik terdapat dua buah batu besar yang konon menjadi
pertapaan seorang tokoh Selomanik yang akan kita bahas di bawah ini.
Dalam sejarah berdirinya Kadipaten Wonosobo tertulis bahwa cikal bakal
Wonosobo bermula dari suatu kadipaten di wilayah Selomanik. Dimana bahwa
pimpinan daerah Selomanik adalah Kanjeng Raden Tumenggung ( KRT )
Kertowaseso. KRT Kertowaseso adalah seorang pengikut Pangeran Diponegoro
yang setia ikut dalam perang gerilya. Untuk lebih jelas mengetahui
sejarah siapa KRT Kertowaseso mari kita menelusuri latar belakang KRT
Kertowaseso. KRT Kertowaseso adalah seorang Tumenggung di dalam struktur
pemerintahan keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada saat dalam
intern keraton terjadi kemelut, akibat kebijakan Patih Danurejo yang
lebih condong berpihak pada VOC. KRT Kertowaseso menempatkan dirinya
pada kubu Pangeran Diponegoro. Kemelut semakin meruncing dengan
kesewenang-wenangan VOC/Belanda mencampuri urusan internal keraton,
menghentikan aturan sewa tanah para bangsawan kepada pengusaha-pengusaha
Belanda, mengenakan pajak tinggi terhadap rakyat. Dan yang terakhir,
pembuatan jalan tembus Magelang – Jogja yang melewati dengan membuat
patok-patok di atas tanah makam leluhur tanpa seizin pangeran
Diponegoro. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pengikutnya yang
marah kemudian membongkar patok-patok yang melewati makam leluhur
Diponegoro. Akibat tindakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya maka
pada tanggal 20 Juli 1825 pada sore hari, VOC dan bala tentaranya
menyerbu puri kediaman pangeran Diponegoro. Maka terjadilah peperangan
di komplek sekitar puri, sang pangeran beserta prajurit-prajuritnya yang
setia berhasil meloloskan diri dari blokade tentara Belanda.
Selanjutnya Diponegoro menyingkir ke arah selatan, dan menyusun kekuatan
di sebuah goa, yang kemudian terkenal dengan goa Selarong. Sejak saat
itu Pangeran Diponegoro menyerukan perang sabil atau perang suci melawan
kaum kafir Belanda. Ternyata seruan Diponegoro mendapat simpati dari
banyak pangeran, bangsawan maupun rakyat Mataram yang selama ini sudah
muak dengan kesewenang-wenangan Belanda yang membuat rakyat menderita.
Seruan pangeran Diponegoro ternyata juga mendapat sambutan hangat dari
kalangan ulama dan santri. Hal ini bisa mengerti, mengingat pangeran
Diponegoro adalah seorang pangeran yang sejak kecil lebih menyukai
kehidupan religius di pesantren, daripada hidup mewah didalam keraton.
Beranjak dewasa sang pangeran banyak mempunyai sahabat dan menjalin
hubungan akrab dengan kalangan ulama-ulama yang tersebar di penjuru
Jawa. Jadi wajar jika seruan perang Diponegoro banyak mendapat sambutan
hangat dan melibatkan laskar-laskar santri di seluruh wilayah Jawa.
Kembali kepada sejarah KRT Kertowaseso…. Setelah menyusun kekuatan
dari goa Selarong, Pangeran Diponegoro segera memerintahkan para
pengikutnya. Terutama para pangeran yang mahir dan mengetahui ilmu
berperang untuk menyebar ke seluruh pedalaman Jawa. Tujuannya untuk
menghimpun kekuatan dan menggalang dukungan dari para ulama/kyai di
seluruh Jawa agar bangkit melawan kezaliman Belanda. Termasuk
diantaranya kepada KRT Kertowaseso. Pangeran Diponegoro memerintahkan
kepada KRT. Kertowaseso untuk menghubungi Kyai Alwi atau Ali sahabatnya ( pada waktu itu orang Jawa biasa memanggil dan menyebut dengan “Kyai Ngalwi” )
di sebuah pesantren di lembah yang sekarang di namakan Kaliwiro. Kyai
Alwi adalah seorang ulama yang diperkirakan berasal dari daerah Jawa
Timur. Beliau datang untuk berdakwah mengajarkan dan menyebarkan agama
Islam di daerah ini. Mengenai latar belakang beliau, tidak bisa
diketahui secara pasti. Karena memang sangat sedikit, bahkan bisa di
katakan tidak ada sejarah dan literatur yang mengetahui latar belakang
sejarah Kyai Alwi. Jejak sejarah Kyai Alwi hanya tertulis sejak beliau
berhubungan dengan KRT Kertowaseso.
Dengan segera KRT Kertowaseso berangkat menghubungi Kyai Alwi untuk
memberitahukan seruan Diponegoro. Sampai di pesantren Kyai Alwi, KRT
Kertowaseso mendapat dukungan untuk menghimpun dan membentuk laskar
perang yang terdiri dari santri-santri kyai Alwi. Laskar-laskar ini
sangat penting dan strategis untuk menunjang perang semesta rakyat Jawa.
Disamping itu KRT Kertowaseso juga menempatkan daerah ini sebagai basis
perlawanan dan rute gerilya Diponegoro. Mengingat kondisi alam daerah
ini yang berupa hutan lebat berbukit-bukit penuh lembah lembah curam
sangat menunjang untuk medan gerilya. Sehingga akhirnya pangeran
Diponegoro pun juga bergerilya dan membuat basis perlawanan di daerah
ini. Kemudian untuk menjaga eksistensi pesantren dari serbuan tentara
Belanda, maka KRT Kertowaseso membuat markas prajurit di sebuah desa di
lereng gunung Lawang. Mengingat betapa pentingnya peran pesantren dalam
pendidikan agama maupun untuk kaderisasi laskar. Maka perlu dihindarkan
keterlibatan pesantren dalam konflik secara langsung, di dalam perang
melawan Belanda. Penempatan markas laskar di desa lereng gunung Lawang
ini kemudian menjadikan KRT Kertowaseso terkenal dengan sebutan Ki Ageng
Selomanik. Sehingga daerah ini kemudian hari terkenal dan di namakan
Selomanik. Hingga pada akhirnya atas perintah Diponegoro, KRT
Kertowaseso membentuk sebuah kadipaten untuk mempermudah menghimpun
laskar rakyat. Dalam perjalanan sejarahnya, kadipaten Selomanik kemudian
menjadi cikal bakal berdirinya kadipaten Wonosobo. Sampai pada akhir
hayatnya KRT Kertowaseso atau Ki Ageng Selomanik tetap menetap di daerah
tersebut dan di makamkan di desa tersebut. Tidak diketahui secara pasti
sebab musabab meninggalnya Ki Ageng Selomanik. Meninggal karena sakit
atau terbunuh dalam perang..? Tidak ada sejarah yang menuliskan
peristiwa itu. Makam beliau hingga sekarang masih terawat dengan baik
dan menjadi salah satu agenda ziarah di setiap hari ulang tahun
Wonosobo.
B. SEJARAH ASAL NAMA KALIWIRO
Dalam kurun waktu lima tahun sejak 1825 hingga 1830. Pasukan KRT
Kertowaseso beserta santri-santri kyai Alwi banyak memperoleh kemenangan
dalam perang gerilya. Sehingga laskar-laskar kyai Alwi ini begitu
disegani dan ditakuti tentara Belanda.
Karena begitu terkenal kehebatan dan keberanian semangat juang
laskar santri rakyat di daerah ini dalam melakukan perlawanan terhadap
Belanda, maka daerah ini kemudian terkenal dengan para perwira-perwira
angkatan perangnya. Sehingga lambat laun daerah ini banyak disebut orang
dengan sebutan daerah yang ditempati kyai Alwi dan para
santri-santrinya yang sangat perwira.
Asal kata Kaliwiro sendiri tersusun dari kata, “Kali dan Wiro.” Kali berasal dari kalimat nama Kyai Alwi atau Ali atau Ngalwi. Sedangkan Wiro berasal dari suku kata bahasa Jawa “Prawiro”. Yang berarti Perwiro atau Perwira. Sehingga bila digabungkan menjadi kalimat “Ngaliwiro. Karena kebiasaan orang Jawa yang sering menamakan suatu tempat dengan sebutan “kali” ( contoh : Kalibenda, Kalimantan, Kalibawang, Kalikajar, Kaliputih dll ). Maka orang Jawa pun lambat laun terbiasa menyebut Ngaliwiro berubah menjadi Kaliwiro.
Mengenai kisah perjuangan kyai Alwi atau Ali atau Ngalwi tidak ada
literature yang mengisahkan atau meriwayatkan kehidupan beliau secara
jelas. Itu semua mungkin karena beliau hanyalah seorang pendukung dan
penasihat spritual Ki Ageng Selomanik yang berperan dari balik layar
dalam memimpin laskar santri melawan penjajah Belanda. Nama dan peran
beliau tenggelam dalam nama besar Ki Ageng Selomanik.
Sampai akhir hayat Kyai Ngalwi, tidak pernah ada sejarah yang menulis
kehidupan beliau dan kapan beliau wafat. Satu-satunya jejak beliau
hanya ada keterangan turun-temurun yang menerangkan bahwa beliau wafat
dan di makamkan di Kaliwiro. Makam beliau yang bersebelahan dengan istri
beliau berada di sebelah selatan ruas jalan yang menghubungkan
kecamatan Kaliwiro dan kecamatan Kalibawang di sebuah bukit kecil yang
sudah di bongkar dan di ratakan pada sekitar tahun 1966 untuk dijadikan
komplek perkantoran ( sekarang BRI Unit Kaliwiro ). Selanjutnya makam beliau dipindahkan ke komplek TPU Manisjangan di selatan SDN 1 Kaliwiro sampai sekarang.
KESIMPULAN AKHIR
Setelah merunut dan membaca penulisan ini, Insya Allah semua menjadi
terang. Bahwa sesungguhnya mitos legenda Kyai Kali dan Nyai Wiro sudah
sedemikian jauh menyimpang dari kenyataan sejarah. Dengan mencermati
nama Kyai Kali dan Nyai Wiro saja sudah terlalu janggal untuk diyakini
kebenarannya.
Pertama, tidak lazim penamaan nama seseorang dalam
budaya Jawa maupun Arab menggunakan kata “Kali”. Apalagi beliau adalah
seorang ulama, yang pada umumnya menggunakan nama bernafaskan
Islam/Arab.
Kedua, tidak lazim dalam budaya Jawa seorang
perempuan bernama “Wiro”. Kecuali si perempuan tersebut bersuamikan
seorang bernama Wiro. Maka bisa di panggil ‘bu Wiro”.
Demikianlah sekelumit sejarah yang saya paparkan dengan cara meneliti
melalui literatur-literatur dan menuskrip sejarah yang saya baca.
Dengan cara mengkait-kaitkan keberadaan sejarah perang Diponegoro dan Ki
Ageng Selomanik yang sudah tertulis dan diakui kebenaranya oleh para
pakar sejarah. Semoga apa yang saya paparkan di atas dapat bermanfaat
untuk pengetahuan generasi yang akan datang. Sehingga generasi Kaliwiro
pada khususnya tidak kehilangan jati diri sejarah Kaliwiro. Dan generasi
muda Kaliwiro bisa berbangga diri dan meneladani sejarah leluhur mereka
yang telah berjihad dengan darah dan air mata melawan penjajahan
Belanda.
Apabila penulisan yang saya paparkan di atas ini telah keliru atau
kurang lengkap, maka sudi kiranya anda mengirim atau menjelaskan
koreksinya. Ini semua bertujuan untuk meluruskan pengetahuan sejarah
anak cucu kita. Agar penulisan sejarah bisa lurus sesuai fakta dan tidak
terjadi penyimpangan sejarah. Apalagi sampai kehilangan jejak sejarah
penting suatu daerah… Jangan sampai hal itu terjadi pada anak cucu kita.
Sebab bangsa besar adalah bangsa yang tidak melupakan dan menghargai
jerih payah pahlawan bangsanya…. Wallahualam bishowab…. Kebenaran hanya
milik Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
1. Caray, Peter. 2007. Asal usul Perang Jawa
2. Penadi, Radix. 1993. Menemukan Kembali Jatidiri Bagelen. Purworejo.
3. Dwie Kurniaty Rahayu, Skripsi. Kadipaten Selomanik Sebagai Basis
Kegiatan Politik dan Keagamaan Pada Masa Kolonial. 1825 – 1830
4. Purwadi, 2005. Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro. Yogyakarta.
5. Siwo Utomo, 1995. Sejarah Wonosobo
6. Sejarah Rakyat Jawa Tengah “ Ki Ageng Selomanik “ . 1983
7. Silsilah Keluarga Ki Ageng Selomanik.
8. Suryani, 1998. Pengaruh Sistem Pemerintahan Kolonial Terhadap Penguasa Pribumi di Jawa 1800 – 1870. Semarang: IKIP Semarang
9. Djuliati, Suroyo. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX
10. Keresidenan Kedu 1800 – 1900
11. Literatur Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar